Perdebatan panas antarpenumpang kereta api komuter di jam padat pagi hari kerap terjadi. Bagi saya yang terbiasa menggunakan kereta api komuter, debat panas itu bak sarapan pagi. Seperti terjadi pagi ini dalam perjalanan KRL jurusan Cikarang-Tanah Abang.
"Otak dipakai dong. Jangan main hape terus. Kamu main hape enggak pegangan, jadinya tiap kereta berhenti ngedorong saya," bentak seorang bapak paruh baya kepada seorang anak muda Genzi. Saling bantah pun terjadi. Suara si bapak makin keras, sementara anak muda mencoba menjelaskan dengan bahasa canggih, Indonesia campur Inggris. Si bapak makin kesal, anak muda Genzi dianggap cuma ngeles, muter-muter doang pakai bahasa yang si bapak tak paham. Bapak paruh baya terpantau turun di Matraman, sedangkan anak muda Genzi turun di Manggarai. Namun sebelum turun, keduanya sempat bertukar senyum. "Maapin saya ya tadi emosi, jangan marah. Anak muda harus dengerin apa kata orang tua," ujar si bapak. "Iya pak, santuy aja, saya udah biasa dimarahin di rumah kok," sambut si Genzi. Saya lihat beberapa penumpang tertawa. Saya cuma senyum-senyum sendiri melihat ujung pertengkaran tadi. Tak disangka, debat sengit berakhir so sweet. Di sudut lain, seorang karyawati tiba-tiba berteriak keras kepada lelaki yang berdiri tepat di belakangnya. "Putar badannya, mas. Atau mundur sedikit. Saya risih adu pantat begini. Dari tadi maunya nempel terus." Lelaki di belakangnya spontan menjawab: "Mundur ke mana lagi? Ini saya sudah maju kena mundur kena." Lalu seperti bisa diduga, terjadi perdebatan, sebelum ditengahi petugas keamanan. Saya perhatikan, keduanya turun di stasiun Sudirman, tanpa berdamai. Soal damai atau tidak, memang tergantung materi debat dan siapa yang berdebat. Kalau materi debatnya cuma soal dorong-mendorong atau injak-menginjak, antarlelaki pula, biasanya berakhir damai jika salah satu minta maaf, minimal melepas senyum tanda penyesalan. Senyum dan kata maaf bak oase di padang pasir, karena kondisi api kereta pagi dan sore memang jauh dari ideal. Saat kaki mencari tempat berpijak, kemungkinannya cuma menginjak atau diinjak. Tapi kalau kasusnya mengarah pada pelecehan, seperti memaksakan adu pantat atau tangan gerayangan, lazimnya melibatkan lelaki dan perempuan, kerap tak akan selesai tanpa campur tangan petugas keamanan. Minimal pihak perempuan memaki-maki si laki-laki hingga stok sumpah serapahnya habis. Jangan sembarangan dengan para perempuan komuter. Mereka saban hari ditempa oleh kerasnya perebutan kursi, antre eskalator, hingga berdiri berjam-jam di kereta. Jadi, jangan dipancing, bibit amarah itu seperti api dalam sekam. Mereka para pelanggan kereta api komuter, kebanyakan adalah kelas menengah yang tidak kaya, tak juga miskin. Kelas menengah komuter ini yang penghasilannya dipotong BPJS, dipusingkan naiknya UKT, terdampak setiap kali ada kenaikan BBM, terancam PHK setiap saat, dan belakangan harus merelakan 3 persen gajinya buat Tapera. Mereka perempuan dan lelaki, orang tua dan orang muda, kebanyakan bergaji sekitar garis UMR, yang setiap hari harus berdamai dengan diri sendiri di tengah berbagai kesulitan dan ketidakpastian hidup. Namun seperti juga mbak-mbak yang marah saat pantatnya terus dipepet, kelas menengah komuter ini juga tentunya punya batas kesabaran. Meski cinta damai dan pandai memendam perasaan, timbunan api dalam sekamnya dapat setiap saat membakar. Ketika ketidakadilan terlalu sulit untuk diterima akal dan pikiran, api yang menyala bisa sangat sulit dipadamkan. Penumpang tinggal sedikit ketika kereta masuk tujuan akhir stasiun Tanah Abang. Saya keluar komuter sambil mengenang debat panas pagi ini. Entah besok apalagi pemicunya. Apakah kesabaran esok masih sama tingginya dengan kesabaran hari ini. Mengingat himpitan masalah ekonomi kian hari kian menggerogoti, sementara berita para pejabat korupsi dalam jumlah fantastis terdengar setiap hari. Ah!Bang Itjoel Tanah Abang, 30 Mei 2024 * Tulisan di kolom ini murni opini penulis, tidak mewakili sikap Redaksi.